Di Penghujung Doaku

Foto2428VEE, begitulah teman-teman memanggilku. Karena nikah muda, sejak bayi aku diasuh oleh Kakek yang purnawirawan. Semasa hidupnya tak banyak kata yang beliau ucapkan. Tindak-tanduknya banyak yang kutiru. Ketegasan dan kedisiplinan membuat hidupku lebih terarah. Berbeda dengan Nenek, beliau seorang pengelola industri rumahan yang agak temperament.

Awalnya aku terpisah dari orang tua dan keempat adikku. Semasa kuliah tingkat dua Ibuku membuat keputusan yang berat buatku. Karena keadaan serba kekurangan, anak banyak, suami tidak bekerja, ibuku merelakan dirinya menjadi seorang TKW di Saudi Arabia. Keempat adikku akhirnya ikut tinggal bersamaku dan Nenek. Walau sudah 5 tahun yang lalu, luka dalam belum kering karena meninggalnya Kakek tercinta, ditambah keputusan Ibu yang berat untukku karena beban hidupku bertambah. Kuliahpun bukan karena punya uang, tapi semangat belajarku masih membara.

Kini aku semester enam akhir. Saat aku mengisi jawaban ujian.

“Veedya Eka Putri, silakan untuk menemui bagian keuangan”, suara itu muncul dari bibir seorang perempuan yang bertugas memanggil mahasiswa yang belum lunas uang kuliah dan UAS semester enam. Sambil menghela nafas panjang, pensil dan kertas ujian aku tinggalkan, langkahku menuju ruang TU, belasan pasang mata tertuju padaku. Seketika teman-teman berbisik kiri dan kanan, tak terasa air mata membasahi pipiku. Tuhan tolonglah aku, kata itu yang bisa aku ucapkan. Hari pertama aku tidak bisa ujian. Tak kuat menahan tangis, sejak keluar ruang TU air mata terus mengalir padahal sudah ditahan sedemikian rupa. Tuhan hentikan air mata ini. Mataku sembab, wajah kemerah- merahan, tak bisa aku sembunyikan.

Laju angkotpun terhenti, uang receh aku berikan ke pa sopir. Langkahku terhenti di toko tempat aku bekerja. Ya, aku bekerja sebagai pelayan, pagi masuk jam 7 siang jam 2 aku berangkat kuliah dulu. Sepulang kuliah jam setengah 6 aku kembali ke toko dan pulan jam 10 malam. Setiap hari aku begitu. Kecuali kalau tidak kuliah aku full dari pagi sampai malam. Uang gaji bulanannya aku gunakan untuk bekal kuliah dan uang kuliah bulanan, kalau ada sisa untuk adik adikku di rumah. Kalau tidak karena wasiat Kakek dan kegigihanku untuk melanjutkan kuliah, aku belum tentu melanjutkan, karena orangtuaku tidak setuju aku kuliah. Dalam pandangan mereka, sekolah atau kuliah itu membuang-buang uang, lebih baik bekerja bisa menghasilkan uang.

Kok pulang cepat, bosku bertanya. Iya bu persiapan ujian, jawabku singkat. Tak banyak kata aku ucapkan selama di toko. Hanya terus berucap dalam hati, “Ya Allah tolonglah aku agar besok bisa ujian”. Kebetulan besok dini hari bos belanja barang ke Bandung, jadi toko tutup maghrib. Selesai sholat maghrib kamipun pulang.

Turun dari angkot, langkahku lurus ke depan, pandanganku tak jelas kemana. Kakiku berhenti di suatu toko dekat rumah, uang receh aku keluarkan, cukup untuk satu coklat. Tak banyak kata kuucapkan pada pelayan toko itu. Di ujung rumah sana, terlihat si bungsu usia 5 tahun menunggu si sulung. Wajahnya berseri-seri, dia bangun dari duduknya, kakinya jingkrak-jingkrak sambil menepukkan tangannya ke atas melihat aku sudah terlihat dari ujung jalan. Terdengar suara “asyik kakak datang, asyik kakak datang”. Pandanganku yang tak jelas seketika berubah berseri karena sambutan si bungsu. Aku pasang wajah ceria, langkahku semakin cepat menuju adiku yang menunggu digendong. Ciuman, pelukan hanyak untuk si bugsu seorang. Kejadian menyedihkan di kampus lupa saat itu. Coklat yang aku beli, membuat si bungsu tambah bahagia. Tak seberapa memang, tapi bagi dia yang kurang kasih sayang, perhatian kakaknya sangat berharga. “Tuhan bahagiakanlah kami segera!”, doaku dalam hati.

Malam telah menjemput siang. Waktupun sudah larut. Keempat adiku terlelap berjajar. Kupandangi mereka, kini mereka telah sekolah di SMK, MTS, MI, dan si bungsu mau masuk TK. Air mata terus membasahi pipi, tak kuasa aku menahan tangis, bagaimana dengan ibuku, apa dia baik-baik saja, bagaimana untuk besok, apa kami masih bisa sekolah, bagaimana dengan aku, apa bisa besok ikut ujian..bagaimana..bagaimana..

Ini kesekian kalinya aku tidak bisa ikut ujian hari pertama. Pembayaranku selalu telat. Uang gaji sebagai pelayan tokopun tidak cukup. Sekalipun ibuku bekerja di luar negeri tak pernah sepeserpun Ayahku memberi bantuan untuk uang kuliah dari kiriman gajinya Ibuku. Walau sebetulnya aku tidak mau diberi. Diberi uang jajan sekalipun aku kembalikan kepada adik-adik karena aku tidak setuju beliau bekerja di luar negeri. Uang kiriman Ibuku digunakan untuk kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan makan sehari-hari. Adik-adikku sekolah dari beasiswa. Aku tak peduli sekalipun dari beasiswa miskin, yang penting adik-adiku bisa kuliah. Setiap datang malam, setiap itu pula aku meminta, “Tuhan berilah penghidupan yang layak untuk kami berlima”. Kalimat istighfar tak pernah lelah aku ucapkan dalam setiap gerak, langkah, dan keheningan sampai membawaku tertidur. Dengan harapan kalimat istighfar membawa perubahan nasib untuk kami.

Sepertiga malam membangunkanku… tanpa alarm atau jam wekker aku terbangun dengan sendirinya. Gemericik air pancuran di kolam samping rumah selalu menemaniku. Lambaian daun di luar rumah selalu memberi semangat untuk memuji kebesaran-Mu ya Allah.. Air wudhu aku ambil di pancuran kolam samping rumah… Dengan membelakangi keempat adik-adiku, aku memohon kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Dalam setiap keheningan malam, dua rakaat aku selalu dirikan untuk-Mu ya Allah… Aku bersimpuh di hadapan-Mu, istighfar sebanyak-banyaknya… Tak terasa air mata selalu mengalir deras ketika bersama-Mu ya Allah… Wajburnii.. Wajburnii.. Wajburnii.. aku ucapkan sebanyak-banyaknya….”cukupkanlah kenikmatanku ya Allah”…. ….”cukupkanlah kenikmatanku ya Allah”…. ….”cukupkanlah kenikmatanku ya Allah”…. Aku mohon ya Allah berilah penghidupan yang baik untuk kami… Amin ya Robbal ‘alamin…

Tak henti-hentinya aku bermunajat kepada Allah sejak Ibuku berangkat…karena sampai saat itu aku masih tak kuasa ditinggal Ibuku pergi jauh. Apalagi kalau menyaksikan si bungsu menangis, dipastikan aku ikut menangis… astaghfirullah al ‘adhim.. astaghfirullah al ‘adhim.. astaghfirullah al ‘adhim.. kembalikan Ibuku.. kembalikan Ibuku..kembalikan Ibuku….

Ayat suci al-Quran aku lantunkan setiap pagi sampai tiba sholat shubuh. Ayat demi ayat, ‘ain demi ‘ain, juz demi juz, aku lantukan dengan sebuah keyakinan esok pasti lebih baik dan selalu mendapat kebaikan hanya dari-Mu ya Allah…

Awalnya aku tidak terima Ibuku pergi jauh.. seiring bertambahnya waktu, lama-kelamaan, waktu membawaku untuk lebih pasrah. Dengan segala suka duka pengalaman hidup menjadikan pribadiku lebih pasrah pada ketentuan Allah.. dan menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah… dengan keyakinan Allah pasti memberi yang terbaik…

Sampai hari terakhir ujian aku tidak bisa mengikuti ujian akhir semester. Minggu itu pun sudah mulai libur ujian akhir semester. Selama itu pula tak ada panggilan apapun dari kampus. Aku sudah menyerahkan urusan ini hanya pada-Mu ya Allah dan aku sudah rela menjalani hari-hari dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. Padahal, jadwal akademik menunjukkan selesai libur UAS aku harus Kuliah, Kerja Nyata, KKN. Tapi apa boleh buat.. UAS pun aku belum.. kucoba jalani dari demi hari dengan penuh harap kebaikan hanya dari Allah… Aku menikmati hidup dengan pasrah, tanpa beban, yang penting aku biasa bahagia dengan adik-adiku.

Panas terik di siang hari membuat kering kerongkongan ini.. Seteguk air aku minum sambil menunggu bagian makan siang dari bosku. Tangan ini masih menengadah dengan doa terpanjat dari lubuk hatiku. Senantiasa berharap kebaikan hanya dari Allah. Handphoneku bordering. Rupanya staf kampus menghubungiku untuk segera ke kampus menemui Pembantu Rektor II bidang Keuangan. Dag dig dug… Dag dig dug… “ada apa lagi ya Allah”, gumamku.. Tak biasa ini dipanggil pejabat kampus. Jika aku dipinta bayar, apa yang harus kuberikan… iyyakana’budu wa iyya kanasta’in… Sore itu, setelah mengambil gaji bulananku, aku pamit pada bosku untuk memenuhi panggilan Purek II. Bos yang luar biasa, setiap aku izin ke kampus, setiap itu pula beliau mengizinkan. Alhamdulillah…

Dengan perasaan tak jelas, kakiku sampai ke depan pintu Pembantu Rektor II. Ternyata aku sudah ditunggu, sekretaris pribadi Purek II mempersilahkanku langsung ke ruangan Purek II. ‘Assalamu’alaikum pa.. Apa betul bapa memanggil saya? Tanyaku. Wajah Purek datar (memang ekspresinya begitu) dengan menjawab: Ya, saya memanggilmu. Akupun tambah degdegan karena Pa Purek tidak memasang wajah berseri. Kalau boleh tahu ada pa, bapa memanggil saya. Kalau soal uang kuliah memang saya belum bayar karena belum ada. Akhirnya Pa Purek II pun menjawab. Langsung saja bapa sampaikan karena bapa ada rapat dengan anggota senat lainnya. Dengan berbagai pertimbangan kamu diputuskan oleh pihak yayasan untuk memperoleh beasiswa satu tahun ke depan termasuk biaya KKN dan PPL. Secara tidak diketahui, kami telah mengajukan beberapa nama untuk memperoleh beasiswa, nama kamu yang dipilih berdasarkan rapat Yayasan. Karena IPKS mu selalu di atas 3,5 selama ini. Tak percaya dengan apa yang aku dengar. Belum aku merespons pa Purek, Pa Purek sudah beranjak dari kursi empuknya. Bapa ada rapat sekarang, tingkatkan terus prestasimu, selamat ya. Pa Purek pun mengajak bersalaman padaku. Masih tak percaya, aku jawab; Iya…iya pa.. saya masih bingung, antara percaya dan tidak. Aku langsung ke Mesjid kampus dan sujud syukur, perasaan campur aduk tak jelas, percaya tidak percaya, bahagia dan bertanya ko bisa ya… padahal tak terlintas dalam fikiranku memperoleh beasiswa yayasan… subhaanallah..subhaanallah..alhamdulillah wasyukurillah… Aku pun pulang dengan wajah berseri, tak kuasa menahan bahagia sampai-sampai sepatu menganga tak aku pedulikan.

Pagi itu hari Minggu, selesai Dhuha, kami bersiap ke warung dekat rumah untuk masak-masak seadanya di dapur. Sebagai syukurku karena memperoleh beasiswa yayasan. Aku sengaja meminta izin ke bosku untuk tidak masuk kerja. Lama sekali rasanya aku tidak menikmati kebersamaan di waktu libur. Sabtu kemarin aku baru terima gaji bulanan sebagai pelayan toko. Alhamdulillah, cukup untukku dan adik-adikku… Kamipun masak bersama dengan Nenek (yang sebetulnya Nenek tersebut merupakan kakak dari ayah Ibuku), sekalipun temperament tapi apa boleh buat. Dengan beralaskan tikar yang sudah lusuh, nasi liwet dengan teman nasi seadanya, kami makan bersama di samping kolam. Canda tawa kami begitu lepas, apalagi adiku yang bungsu, dia terlihat bahagia karena keempat kakaknya bisa kompak mengurus dia. Aku dan adik-adik sepakat membuat makanan ringan untuk dititipkan di koperasi sekolah, lumayan untuk tambahan uang jajan mereka. Alhamdulillah…kami bahagia ya Allah… Anugerahkanlah kebahagiaan untuk kami selamanya…

Nada dering handphone berbunyi. Ya kami punya satu handphon yang biasa saja untuk kami gunakan komunikasi dengan ibu kami. Setelah dilihat Budeku yang Jakarta telephon. Adikku yang SMK yang menjawab telephonenya. Assalamu’alaikum.. Wa’alaikumsalam jawab kami karena di loudspeaker.. ini, siapa? Ini kakak bukan? Panggilan sayang Budeku. Di ujung telephone sana bertanya. Rupanya Bude ada perlu dengan ku. Aku mengambil handpon yang ada dekat adikku. Tanpa loudspeaker, kami saling bertanya kabar dan lain-lainya. Aku dipinta segera untuk ke Jakarta menemui Budeku, ini tak biasa. Biasanya Bude yang datang ke rumah peninggalan kakek yang kini rumah tersebut diperuntukan untuk Nenek.

Malamnya aku berangkat ke Jakarta dengan travel. Tak sempat sholat malam, aku istighfar saja sampai membawaku tertidur di mobil travel. Shubuh aku sudah tiba di Bintaro. Kamipun kangen-kangenan dengan Bude dan anak-anaknya. Bude adalah anak angkat Kakek, sama halnya dengan aku yang diurus Kakek, Nenek sejak kecil. Karena Kakek tidak punya anak dari hasil pernikanan dengan Nenek ataupun sebelumnya. Dengan kebaikan dan kasih sayang, Kakek membesarkan kami dalam waktu yang berbeda. Setelah Budeku menikah, baru Kakek mengurus aku.

Selesai sarapan pagi bersama kami ngumpul di ruang keluarga seperti ada orang yang ditunggu. Agak Aneh, ko hari pertama kerja tidak pada berangkat kerja. Sampai-sampai aku diingatkan belum minta izin untuk tidak masuk toko. Sambil ngobrol aku pun sms ke bosku, hari ini tidak masuk karena berangkat ke Jakarta.

Bel pintu berbunyi, terlihat dua orang laki-laki berdasi dengan membawa tas. Kamipun menyambut baik kedatangan mereka. Kami semua duduk, dan tak banyak basa-basi. Setelah Budeku mengucapkan terimakasih, lalu seorang laki-laki membuka tas dan mengelurakan map. Lalu map tersebut dibaca di hadapan kami. Sontak aku mendengarnya… tak percaya…kaget…badanku lemas, pikiranku tak tahu ke mana, selain nama Budeku, nama lengkapku disebut. Aku dan Bude dipinta menandatangani penerimaan peninggalan Kakek berupa deposito yang Kakek pada saat meninggal belum diambil, dan telah diuruskan ke Notaris saat Kakek masih sehat. Deposito beserta bunganya diwariskan atas nama Bude dan namaku dan bisa diberikan saat aku usia 21 tahun. Tak percaya, aku yang bukan siapa-siapanya Kakek, Kakek sedemikian sayang padaku. Pantesan, sehari menjelang meninggalnya Kakek, wasiatnya lanjutkan sampai lulus kuliah dan kamu harus punya rumah untuk bisa tinggal dengan adik-adikmu. Tuhan… Astaghfirullah… Astaghfirullah…Kakek…Kakek…Kakek…akupun tersungkur, sujud syukur sambil mengenang kebaikan Kakek. Subhaanallah.. Subhaanallah.. Subhaanallah..

Sungguh tak pernah ku duga sebelumnya. Dalam waktu yang berdekatan, Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya. Beasiswa kuliah dan rumah sederhana sudah di depan mata… Subhaanallah… [Oleh: Ardhiena Esya—Penulis adalah Pegiat Literasi, Pembina PENA dan Dosen di Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon. Tulisan ini dielaborasi dari tulisan aslinya “Di Penhujung Doaku” yang dimuat pada Kolom Cerpen hal. 19 Radar Cirebon pada Ahad 27 Juli 2015]

Tinggalkan komentar