MEA dan Pendidikan Kita

MEA-Pendidikan 1KINI kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang di-launching pada 31 Desember 2015 lalu. Realitas ini memungkinkan mudahnya mobilitas barang, jasa, dan orang antarnegara di wilayah ASEAN, termasuk ke dalam dan ke luar Indonesia. Tentu saja ini merupakan angin segar bagi yang siap bersaing, namun menjadi badai yang melumpuhkan bagi yang tidak siap.

Kita akan melihat betapa mudahnya barang, jasa, dan orang di wilayah ASEAN memasuki negara kita demikian juga sebaliknya apabila kita memiliki daya saing. Berbagai kemungkinan bisa terjadi seperti: supir angkot orang Laos, buruh pabrik dan pekerja bangunan orang Thailan dan Malaysia, pedagang di pasar orang Vietman dan Kamboja.

Jutaan orang akan bersaing dengan tenaga kerja asing pasca mereka lulus dari satuan pendidikan tertentu. Suatu fakta yang tidak bisa dihindari karena perjanjian tersebut telah disepakati oleh anggota-anggota ASEAN. Tema implementasi pasar tunggal ASEAN 2015 lalu adalah sektor barang dan jasa. Tujuh sektor barang yang dimaksud yaitu produk berbasis pertanian, otomotif, elektronik, karet, tekstil, perikanan, dan barang dari kayu, sedangkan lima sektor jasanya adalah layanan transportasi udara, layanan dalam jaringan, pariwisata, kesehatan, dan logistik.

Tantangan Besar Dunia Pendidikan

Meskipun saat ini hanya terbatas beberapa sektor, perjanjian ini menimbulkan tanda tanya bagi insan pendidikan tentang sejauh mana kemampuan anak didik kita bersaing secara global. Kini kita sudah berhadapan dengan MEA. Besar kemungkinan menjadi masalah besar bagi bangsa kita, sebab akan muncul kegagapan massal terutama bagi angkatan kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih.

Data BPS 2014 menunjukkan bahwa penduduk di atas 15 tahun yang bekerja berdasarkan pendidikan secara berurutan adalah: SD 46,8%, SLTP 17,82%, SLTA 25,23% dan pendidikan tinggi 10,14%. Dengan komposisi mayoritas lulusan pendidikan dasar, mampukah pendidikan kita menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar bebas ASEAN? Idealnya sebelum perjanjian ini dimulai pemerintah dan pendidikan kita terlebih dahulu menyiapkan startegi penyiapan sumber daya manusia dan infra struktur pendukung yang optimal.

Pemerintah Indonesia perlu untuk melakukan persiapan, mulai dari persiapan infrastruktur sampai kepada persiapan dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia yang terampil, mempuni dan profesional. Untuk menciptakan SDM yang trampil, mempuni dan profesional, tidak terlepas dari pendidikan yang berkualiatas. Tanpa pendidikan yang berkualitas, harapan untuk menciptakan SDM yang trampil, mempuni dan professional, akan hanya menjadi sebuah harapan. Persaingan tenaga kerja di dalam MEA akan sangat ketat. Bagai manapun di dalam dunia pasar bebas MEA, Indonesia akan di banjiri oleh tenaga kerja dan pelaku usaha dari Negara asing di kawasan ASEAN (Wisnu AJ, 2015).

Bagaimana pendidikan kita merespon MEA yang sudah ada di pelupuk mata? Akankah kita korbankan generasi sekarang bersaing tanpa persiapan? Era perdagangan bebas ASEAN harus disambut oleh dunia pendidikan dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap menghadapinya tanpa banyak menimbulkan masalah.

Mengacu pada faktor penentu kemajuan suatu negara adalah penguasaan inovasi (45%), penguasaan jaringan/networking (25%), penguasaan teknologi (20%), dan kekayaan sumberdaya alam hanya (10%), maka pendidikan kita harus lebih menekankan pada tiga kemampuan di atas. Paling tidak kita bisa belajar dari negara tetangga, Singapura. Singapura tidak memiliki sumberdaya alam tetapi masuk dalam kategori negara maju, karena negara tersebut menguasai tiga hal di atas.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan pendidikan kita dalam menghadapi MEA? Pemerintah harus menyiapkan sekolah-sekolah khusus yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan kerja, misalnya sekolah pertanian, sekolah peternakan, sekolah perikanan, sekolah teknik mesin, sekolah teknik bangunan, dan sebagainya. Sekolah-sekolah tersebut harus benar-benar membekali kompetensi untuk berinovasi dan untuk membangun jaringan/networking.

Kompetensi berinovasi dapat dilakukan dengan peningkatan berbagai ketrampilan seperti, inovasi pembudidayaan, desain produk, strategi pemasaran, penggunaan teknologi dan penguasaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi.

Adapun kompetensi membangun jaringan dilakukan dengan pengembangan sikap dan mengelola sumber daya manusia seperti, kepemimpinan, kerja sama, komunikasi dan pengembangan pribadi.

Dalam jangka waktu yang singkat, kemampuan berinovasi dan penguasaan teknologi merupakan keniscayaan untuk segera dilakukan karena mayoritas output pendidikan dasar dan menengah akan bekerja di sektor bawah atau tenaga kasar. Ketrampilan ini bisa diupayakan dengan cepat karena siswa akan diajarkan bagaimana cara bekerja yang kreatif dan inovatif. Adapun pengembangan kemampuan membangun jaringan diprioritaskan bagi tenaga kerja level manajemen yang umumnya diemban oleh lulusan perguruan tinggi. Akan tetapi, jika ketrampilan ini dimiliki oleh semua level pendidikan maka dapat meningkatkan kualitas kerja lulusan pendidikan sehingga daya saing tenaga kerja kita meningkat (Umi Salamah, 2015).

Menyiapkan sumber daya manusia memang bukan pekerjaan mudah dan bisa dilakukan secara instant. Akan tetapi, apabila pendidikan kita (guru dan sekolah) bisa membekali siswa dengan kedua ketrampilan tersebut, lulusan pendidikan kita akan memiliki rasa percaya diri dan motivasi untuk mengembangkan diri secara optimal sehingga mampu bersaing secara global.

Pertanyaannya, mampukah perangkat pendidikan kita melakukannya? Jika tidak, pemerintah harus memberikan regulasi-regulasi yang mempermudah masyarakat untuk membuka lembaga-lembaga pelatihan yang membekali keterampilan untuk berinovasi, penguasaan teknologi, dan kemampuan membangun jaringan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Dengan demikian, pendidikan kita memiliki andil besar dalam menyiapkan sumberdaya yang siap menghadapi MEA maupun dalam persaingan global yang sangat kompetitif. [Oleh: Uum Heroyati—Penulis buku “Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab”, Redaksi Penerbit Mitra Pemuda, Penulis Essay dan Artikel di berbagai Surat Kabar, dan Guru di SDIT Sabilul Huda Cirebon. Tulisan ini dielaborasi dari tulisan aslinya yang berjudul “MEA dan Pendidikan Kita” yang dimuat pada Kolom Wacana Harian Umum Radar Cirebon hal. 10, Kamis 04 Februa 2016].

Tinggalkan komentar